MATA KULIAH
DOSEN PENGAMPU
Muqaranah
Mazahib Fi Al-Jinayah
Ismardi, M.Ag
PERBANDINGAN PENDAPAT IMAM MAZHAB
TENTANG JARIMAH PENCURIAN

DI SUSUN OLEH:
HAMIDUM MAJID
NIM: 11424000490
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA ( SIYASAH )
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUSKA RIAU
T.A 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji
syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberika
taufik, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
kami yang membahas tentang “PERBANDINGAN
PENDAPAT IMAM MAZHAB TENTANG JARIMAH PENCURIAN”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Muqaranah Mazahib
Fi Al-Jinayah.
Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami.
Yang terakhir,
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Pekanbaru,
07 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
A.
LATAR BELAKANG MASALAH...................................................................... 4
B.
RUMUSAN MASALAH....................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 6
A.
Pengertian
Pencurian (sariqah)................................................................... ......... 6
B.
Unsur-unsur Pencurian............................................................................... ......... 7
C.
Sanksi Pencurian.......................................................................................... ......... 9
D.
Perbandingan pendapat imam mazhab tentang jarimah pencurian....... ......... 10
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 16
A.
KESIMPULAN...................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna dan
mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar
yang penting yaitu keadilan, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
90. Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90)
Dalam hal ini,
segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi,
terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan
tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa
pencurian dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia
memiliki hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan dan si pelaku
dibebankan tanggung jawab atas perbuatannya itu.
Dan di dalam fiqh jinayah telah diatur tentang segala ketentuan dan hukuman
perbuatan yang melanggar syariat dan undang-undang pidana yang berlaku.
Salahsatunya mengenai pencurian yaitu sariqoh.
Sariqah
(pencurian) didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara
diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis
akan membahas atau mengkaji berkenaan dengan pandangan ulama tentang tanggung
jawab pencuri atas barang curiannya.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang di atas,
penulis mengambil beberapa rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah
ini, yaitu:
1.
Apa saja
unsur-unsur pencurian ?
2.
Apa sanksi bagi
pelaku pencurian ?
3.
Bagaimana
perbandingan pendapat imam mazhab tentang jarimah pencurian ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pencurian (sariqah)
Kata pencurian berasal
dari bahasa Arab al-Sariqah.
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata سَرَقَ - يَسْرِق –
سَرَقــًا dan secara etimologis berarti أَخَذَ
مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara
sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1] Dalam ensiklopedi fiqh:
السرقة هي اخذ مال لا حق له فيه من خفيه
Abdul Qadir Audah mendefinisikan
pencurian ialah sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan
sembunyi-sembunyi.[3]
Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan Sariqah ialah mengambil hara milik orang lain dari
tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori mencuri adalah mencuri informasi dan
pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.[4]
Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah mengambil harta
orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
Ibnu Arafah mengatakan:
"Menurut masyarakat Arab, pencuri adalah orang yang datang secara
sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain untuk mengambilnya
dengan cara yang tidak benar.”
Mahmud Syaltut adalah pengambil harta orang
lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut.[5]
Dan yang dimaksud dengan
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.
B. Unsur-unsur Pencurian
Dari definisi yang
dikemukakan oleh ulama fiqh diatas, maka ada empat unsur yang harus dipenuhi,
sehingga tindakan pengambilan harta orang lain tersebut sebagai tindakan pidana
pencurian. Antara lain sebagai berikut:
1. Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi. Artinya, pencurian dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik
barang dan pemilik barang tidak rela dengan pengambilan barangnya itu.
Misalnya, pencurian barang itu dilakukan ketika pemilik tidak ada atau
pemiliknya sedang tidur. Pengambilan barang tersebut, menurut Abdul Qadir
Audah, harus bersifat sempurna memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Pencuri mengambil barang curian dari tempat
pemiliharaanya.
b. Barang yang dicuri itu lepas dari penguasaan
pemiliknya; dan
c. Barang yang dicuri itu berada dalam kekuasaan pencuri.
Apabila salah satu syarat
dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dinamakan pencurian.
2. Yang dicuri itu bernilai harta
Ulama fiqh mengemukakan
bahwa harta yang dicuri itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
a. Harta yang dicuri itu adalah harta bergerak, karena
pencurian itu menghendaki pemindahan harta yang dicuri dari tempat dan
penguasaan pemiliknya ketempat dan penguasaan pencuri. Misalnya rumah termasuk
harta yang tidak bergerak. Tetapi, apabila pencuri melepaskan ubin-ubinnya,
kusen-kusen rumah itu, atau kaca-kaca jendelanya, lalu ia ambil, maka termasuk
kedalam kategori benda bergerak disebabkan perbuatan pencuri. Adapun terhadap
tanah, sebagai benda tidak bergerak, dapat juga dicuri apabila yang dicuri
adalah sertifikat tanah tersebut, sehingga penguasaan tanah itu berpindah
tangan dari pemiliknya kepada pencuri.
b. Harta yang dicuri itu bernilai harta menurut syara’.
c. Harta itu terpelihara di tempat yang aman, seperti
dalam rumah. Sifat pemeliharaan itu ada dua macam, yaitu pemeliharaan yang
bersifat tempat dan pemeliharaan dengan adanya penjaga yang bertanggung jawab,
seperti satpam.
d. Harta yang dicuri itu bernilai satu nisab.
كان رسول الله – صلعم -
تقطع يد السار ق ف ربع دينار فصاعدا
“Rasulullah SAW memotong tangan pencuri yang mencuri harta senilai seperempat
dinar lebih”. (HR. al-Jamaah al-Asqalani Juz IV: 18)
لا تقطع يد السارق أّلّا
في ربع دينالر فصا عدا
“Tidak dipotong tangan pencuri, kecuali apabila (ia mencuri harta senilai)
seperempat dinar lebih”. (HR. Ahmad (al-Asqalani Juz IV: 18).
3. Harta yang dicuri itu milik orang lain. Artinya, harta
yang dicuri itu merupakan milik orang lain ketika berlangsungnya pencurian.
4. Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri.
Maksudnya, pencuri itu meyakini bahwa melakukan pencurian terhadap harta orang
adalah perbuatan yang diharamkan dan mengambil harta orang lain tanpa izin
adalah pekerjaan yang dilarang. Oleh sebab itu, apabila seseorang mengambil
harta yang bersifat mubah, seperti kayu dihutan belantara yang tidak dimiliki
seseorang atau mengambil barang bekas yang sudah dibuang orang, seperti pakaian
usang, maka tidak dikenakan hukuman pencurian, karena barang-barang seperti ini
termasuk barang-barang mubah.
C. Sanksi Pencurian
Pencurian dalam islam
merupakan perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong
tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab curian. Landasan
hukum yang menyatakan hukuman potong tangan ini adalah firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
38. Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)
Alasan lain adalah sabda
Rasulullah SAW:
أنما أهلك من كان قبلكم انه أذا سرق فيهم الشريف تركوه واذا سرق فيهم الضعيف
قطعوه
“Kehancuran umat
terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri adalah orang-orang terhormat,
mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang mencuri rakyat biasa, mereka potong
tangannya”. (HR. Al-Bukhori (Ibnu Rusy: 446)
D. Perbandingan pendapat imam mazhab tentang
jarimah pencurian
1. Perbedaan
pendapat dalam hal tempat penyimpanan barang curian
Sebagaimana
yang telah disebutkan diatas bahwa barang yang dicuri harus disimpan pada suatu
tempat penyimpanan yang terpelihara, Sifat pemeliharaan itu ada dua macam, yaitu pemeliharaan yang bersifat
tempat dan pemeliharaan dengan adanya penjaga yang bertanggung jawab, seperti
satpam.
Dalam
hal ini ulama berbeda pendapat tentang tempat penyimpanan barang yang dicuri
tersebut
Menurut
imam abu hanifah tempat penyimpanan harta itu benar-benar dikhususkan untuk harta tersebut,
sehingga untuk memasukinya seseorang harus meminta izin kepada pemiliknya,
seperti rumah, perkemahan, hotel, kandang, atau lumbung padi. Untuk
tempat-tempat seperti ini, menurut Imam Abu Hanifah, dihukumkan sebagai tempat terpelihara dan aman, sekalipun pintunya
terbuka
Menurut Imam Malik, tempat pemeliharaan itu tidak mesti berupa bangunan yang dikhususkan
untuk tempat harta itu, tetapi cukup dengan menjadikan tempat itu sebagai
tempat yang biasa dalam penyimpanan barang.
Menurut Imam Syafi’I dan Imam
Ahmad bin Hanbal, tempat
pemeliharaan yang bersifat tempat harus tertutup dan biasanya menjadi tempat
pemeliharaan harta, serta berada dalam bangunan perkampungan penduduk, seperti
rumah, hotel dan toko-toko. Apabila pintu bangunan itu terbuka, maka mereka
berpendapat tidak termasuk tempat yang terpelihara secara aman.
2. Perbedaan
pendapat dalam hal Nisab atau ukuran minimal barang curian
Sebagaimana
disebutkan diatas bahwa syarat barang curian itu harus mencapai satu nishab,
dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang nisab barang curian tersebut
Menurut Mazhab Hanafi – nisab harta
dalam hadd pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham baik murni atau
tidak atau senilai dengan salah satunya. Dikatakan juga untuk barang selain
dari yang dua itu disamakan nilainya dengan nilai dirham dan jika barang
tersebut adalah emas maka disyaratkan merupakan barang yang beredar dikalangan
masyarakat. Adapun dalil ulama Hanafiah dalam penentuan nisab ini adalah hadis
yang diriwayatkan dari ibnu abbas dan ibnu umi aiman:
عَنْ أَيْمَنَ قَالَ يُقْطَعُ السَّارِقُ
فِي ثَمَنِ الْمِجَنِّ وَكَانَ ثَمَنُ الْمِجَنِّ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِينَارًا أَوْ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ
Artinya: Dari Aiman ia berkata: seorang
pencuri dipotong tangannya karena mencuri seharga perisai dan harga perisai
pada masa Rasulullah saw. adalah satu dinar atau 10 dirham. (HR. Al- Nasai) menurut mazhab hanafi 10
dirham sama dengan satu dinar
menurut Mazhab Maliki – nisab harta
curian adalah tiga dirham murni. Maka siapa yang mencuri barang yang senilai atau lebih dari
tiga dirham murni maka dikenakan hadd. Adapun dalil ulama Malikiah adalah hadis
riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
-: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَطَعَ فِي مِجَنٍّ
ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ.» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Rasulullah s.a.w memotong tangan yang mencuri
perisai seharga tiga dirham”. Hr muttafaqun alaih
Menurut Mazhab Syafi’i – nisab dalam
mencuri adalah seperempat dinar atau barang-barang lain yang senilai dengannya.
Ulama Syafi’iyah berdalil dalam nisab ini dengan sebuah haddis yang
diriwayatkan oleh imam Muslim yang
diriwayatkan melalui Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ‘Amrah dari
Siti ‘Aisah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إلَّا فِي رُبُعِ
دِينَارٍ فَصَاعِدًا» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Tidaklah
dipotong tangan pencuri kecuali jika mencuri seperempat dinar atau lebih”.
Menurut Mazhab Hanbali – Tiga dirham
dan seperempat dinar keduanya merupakan nisab dalam hadd mencuri dan siapa yang
mencuri salah satu darinya atau yang senilai dengannya maka dikenakan hadd.
Pendapat ini berdasarkan haddis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Haddis
‘Aisah bahawa Rasulullah s.a.w telah bersabda:
اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ، وَلَا تَقْطَعُوا
فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah tangan pencuri (jika mencuri)
seperempat dinar dan jangan pada yang kurang daripadanya”.
Menurut mazhab hambali Tiga dirham perak senilai dengan 1/4 dinar,
sedangkan menurut Asy-Syafi'i 3 dirham
perak itu tidak senilai dengan 1/4 dinar; maka menurut imam syafi’i tidak
dilaksanakan hukuman potong tangan."
Menurut Mazhab Hanafi nilai barang curian tersebut harus tetap seharga 10
dirham sejak barang itu dicuri sampai dilaksanakannya hukuman potong tangan.
Apabila antara waktu pencurian dengan waktu pelaksanaan hukuman barang curian
itu berubah nilainya yaitu turun harganya, maka terdapat perbedaan pendapat
dikalangan mereka, ada yang menyatakan tetap berlaku hukaman pencurian, adapula
yang menyatakan hukuman pencurian tidak bisa dilaksanakan karena nilai yang
dicuri tidak satu nisab lagi.
Sedangkan Menurut Imam
Malik, Imam asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal harga patokan yang dijadikan dasar adalah harga barang ketika terjadi
pencurian, bukan ketika pelaksanaan hukuman.
3. Perbedaan
pendapat dalam hal pencurian terhadap harta kongsi ( syirkah )
Menurut Mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali pencurian
terhadap harta kongsi ( syirkah ) tidak dikenakan potong tangan karena
adanya unsur keraguan dalam masalah kepemilikan harta itu dalam kasus ini
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
أنت وملك لأبيك
“… engkau
dan harta engkau merupakan milik ayahmu … “ (HR. Abu Dawud (Ibnu Rusy Juz II:451)
Oleh sebab itu, maka yang
mencuri harta ayahnya tidak dikenakan hukuman, mitra dagang mencuri harta
dagangan yang menjadi milik serikat, juga tidak dikenakan hukuman, karena
adanya syibh al-Milk. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa orang yang mencuri dari harta
kongsinya dimana ia punya saham tidak dikenai potong tangan.
Akan
tetapi, ulama Mazhab Maliki mengatakan apabila mitra dagang mencuri harta serikat
mereka mencapai satu nisab, maka dikenakan hukuman potongan tangan.
4. Perbedaan
pendapat dalam hal pencurian yang dilakukan oleh lebih dari satu orang
Apabila pencuri tersebut
adalah sekelompok orang, maka apabila masing-masing pencuri berhasil mendapat
bagian barang curian senilai satu nisab, maka ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa masing-masing mereka dikenakan hukum pencurian.
Akan tetapi Apabila barang yang dicuri kelompok pencuri itu hanya bernilai satu
nisab, maka menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam
asy-Syafi’I tidak dikenakan
hukuman potong tangan, karena masing-masing mereka tidak mencuri barang satu
nisab yang dikenakan hukuman pencurian.
Sedangkan menurut Mazhab
Maliki , jika dua orang atau
lebih mencuri senilai satu nisab, jika barang itu diambil oleh masing-masing
orang, tidak dikenakan hukuman pencurian. Akan tetapi, apabila pengambilan
barang tersebut dilakukan secara bersama-sama, saling membantu untuk
mengambilnya (bukan masing-masing mengambil untuk dirinya), maka semuanya
dikenakan hukuman potong tangan.
Menurut Mazhab
Hambali, jika sekelompok
orang mencuri barang mencapai nilai satu nisab, maka semuanya dikenakan hukuman
potong tangan, dengan pertimbangan tindakan tersebut merupakan pelanggaran
terhadap kehormatan harta orang lain.
5. Perbedaan
pendapat dalam hal kewajiban pencuri untuk mengembalikan barang curian
Permasalahan lain yang
akan dibahas ulama dalam hukuman pencurian ini adalah apakah jika seseorang
pencuri dinyatakan bersalah disamping hukuman potong tangan juga dikenakan
hukuman ganti rugi. Ulama sepakat apabila barang yang dicuri itu masih ada, maka disamping hukuman
potongan tangan juga diwajibkan mengembalikan barang yang dicuri tersebut. Akan
tetapi, jika barang yang dicuri itu tidak ada lagi (sudah habis), maka menurut Mazhab Hanafi pencuri tidak diwajibkan membayar ganti rugi.
Alasannya adalah bahwa nash tidak membicarakan hukuman ganti rugi bagi pencuri.
Disamping itu Rasulullah SAW bersabda:
لا يغرم السارق اذا اقيم
عليه الحد
“Pencuri tidak mengganti
kerugian apabila hukuman had dijatuhkan”. (al-Asqolani Juz IV: 24)
menurut Mazhab
maliki, jika yang mencuri itu
seorang yang berharta, disamping hukuman potong tangan juga dikenakan kenakan
ganti rugi, sebagai hukuman tambahan baginya. Jika pencurinya orang tidak punya
harta, maka ia dikenakan hukuman potong tangan saja. Adapun menurut Mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa pencuri itu dikenakan hukuman
potongan tangan dan wajib mengembalikan barang yang dicuri. Jika barang yang
dicuri tersebut sudah habis, maka pencuri itu wajib menggantinya dengan barang
yang sama, dan jika barang yang sama sudah tidak ada dipasaran, maka ia wajib membayar ganti rugi senilai
harga barang yang dicuri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah diatas, dapat di tarik kesimpulan secara umum sebagai berikut:
1. (Pencurian) Sariqah adalah mengambil
suatu harta yang tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan secara diam-diam
atau sembunyi dari pemilik harta tersebut.
2. Adapun
unsur-unsur dari pencurian antara lain sebagai berikut:
- Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi
- Yang dicuri itu bernilai harta (nisabnya ¼ dinar)
- Harta yang dicuri itu milik orang lain
- Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri.
3. Adapun sanki pencurian dalam islam merupakan perbuatan
tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang
dicuri tersebut bernilai satu nisab curian.
4. Seorang yang mencuri, baru dapat dikenakan hukuman
apabila memenuhi beberapa syarat antara lain:
- Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan
berakal
- Harta yang dicuri disyaratkan (bernilai, mencapai
nisab dll)
- Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar
pemilik barang itu
- Tempat pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya
berlaku hukum islam.
5. Untuk menetapkan hukuman pencurian dihadapan
hakim, diperlukan alat dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana
pencurian itu benar-benar terjadi, alat bukti dalam tindak pidana pencurian
adalah saksi dan pengakuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Hadits
Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri
al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’I(Maktabah Dar al-Urubah,
1992)
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh
Al-Islami wa Adilatuh cet ke-4 Jilid VII (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)
H Zainal, Eldin. Hukum Pidana
Islam Sebuah Perbandingan Cet I (Bandung:Cipta Pustaka,
2011)
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid
Juz II (Mesir: Mustafa Babil Halabi wa Auladuh, 1397 H/1960 M)
Sabiq, Sayyid. Fiqhuz Sunnah (Kuwait:
Darul Bayan)
Yusuf, Imaning. Fiqh Jinayah Hukum
Pidana Islam (Palembang: Rafah Press, 2009)
[1]
A. W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), cet. Ke-14, hlm. 628.
[3]
Abdul Qadir Audah,
al-Tasyri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’I, (Maktabah Dar
al-Urubah, 1992) hlm. 518
[4]Wahbah
Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII,
hal. 5422.
[5]
Eldin H
Zainal, Hukum Pidana Islam Sebuah
Perbandingan, (Bandung:Cipta Pustaka Cet.I, 2011), hlm. 139-140
Komentar
Posting Komentar